NU Online LTN NU Trimurjo
Trending Now:  KH Abbas Layak Menjadi Pahlawan Nasional, Prof. KH Asep S. Chalim: Kami Himpun Para Sarjan...  Gus Dur dengan Misi Njajah Negara Milang Lintangnya  Keunggulan Metodologi Imam Bukhari Dalam Menyaring Hadis Sahih
Seni dan Budaya

Budaya Viral dan Tradisi NU: Simbiosis Atau Konflik

by Admin - 24 May
Budaya Viral dan Tradisi NU: Simbiosis Atau Konflik


Di era sekarang, yang cepat akan menang. Yang viral jadi raja. Sebuah video joget bisa lebih dikenal ketimbang pidato seorang kiai. Qoutes motivasi receh lebih laku daripada kutipan kitab. Dunia berubah, tapi apa semua harus ikut viral? 


Budaya Viral: Cepat, Singkat, dan Kadang Dangkal


Viral adalah anak kandung zaman media sosial. la lahir dari algoritma yang menyukai sensasi, kecepatan, dan keterlibatan emosi sesaat.


Kalau lucu, nyeleneh, atau mengundang emosi-maka besar peluang untuk viral.Tapi budaya viral juga punya sisi gelap:la sering mengorbankan makna demi tampilan.la membuat kita sibuk mengejar "view" tapi lupa isi.


Dan kadang, ia menyulap hal remeh jadi penting-sementara hal penting malah dianggap remeh.
Dalam dunia viral, yang menang bukan yang benar, tapi yang lebih dulu muncul di FYP.


Tradisi NU: Dalam, Pelan, Tapi Mengakar


Di sisi lain, NU tumbuh dengan irama yang berbeda: pelan tapi mantap, tidak viral tapi bertahan.
NU tidak dibangun dengan klik dan trending, tapi dengan tirakat, ngaji kitab, sowan, dan adab yang ditanam sejak dini.Tradisi NU mengajarkan kita bahwa sesuatu yang agung tidak dibentuk dalam sehari. Kualitas lahir dari konsistensi, bukan sensasi.


NU tidak dibentuk oleh popularitas, tapi oleh keikhlasan yang diwariskan. Simbiosis: Ketika Tradisi Menunggangi Teknologi. Tapi siapa bilang tradisi tak bisa menyesuaikan diri? Justru di sinilah letak tantangannya: Bagaimana NU bisa menjadikan budaya viral sebagai kendaraan, bukan korban.


Hari ini, banyak MilleNUal (millennial NU) yang mulai menyampaikan nilai-nilai tradisi lewat medium digital:
1. Kitab kuning dikemas jadi konten carousel di Instagram. 2. Ceramah kiai diedit jadi video pendek di TikTok. 3. Shalawat dan dawuh kiai disulap jadi podcast dan konten YouTube.


Itulah simbiosis: memadukan kedalaman pesan dengan kecanggihan platform. Tradisi tetap hidup, tapi dalam bahasa yang bisa dipahami generasi kini.


Titik Konflik: Ketika Viral Menggerus Nilai. 


Namun, tidak semua yang viral mendukung nilai. Ada titik- titik konflik yang perlu diwaspadai: Ketika konten agama dibuat hanya untuk cari cuan, bukan cari berkah. 
Ketika dawuh kiai dipotong seenaknya demi "engagement" Ketika santri lebih bangga jadi influencer daripada jadi pelayan umat.


Kita harus jujur: tidak semua yang tren itu benar, dan tidak semua yang kuno itu ketinggalan zaman. Tradisi butuh penjaga, bukan hanya penikmat. Viral butuh arah, bukan hanya kecepatan.


Kita Harus Hadir di Layar. Tapi Tidak Kehilangan Akar


Budaya viral dan tradisi NU bukan dua kutub yang saling meniadakan. Mereka bisa berdampingan, asal kita bisa menjaga akarnya.NU harus hadir di TikTok, tapi jangan kehilangan adab. Hadir di YouTube, tapi tetap bawa nilai.


Kalau yang baik tidak ikut menyuarakan, maka yang bising akan menguasai ruang.Karena itu, tugas kita sebagai MilleNUal hari ini bukan sekadar jadi penonton-tapi jadi penjaga nilai, kreator makna, dan penuntun arah. "Kita tidak anti viral. Kita hanya tidak mau nilai-nilai NU larut dalam arus yang dangkal.


Ansor Ngawi: MilleNUal Orkestator Peradaban

Share:
Pembaca 0
Facebook Twitter Email Whatsapp